Senin, 25 Januari 2010

Tahammulul hadits,cara menerima dan menyampaikan hadits

T ahammul al hadits wa ada-uhu (cara menerima dan meriwayatkan hadits )

Definisi TAHAMMUL al HADITS (menerima hadits)

Menurut Bahasa : Tahammul berasal dari kata ( mashdar)i : تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung, membawa,atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Menurut Istilah : mempelajari sebuah hadits dari seorang syeikh.

Definisi ADA’ UL HADITS (Menyampaikan)

Menurut Bahasa : Menyampaikan sesuatu dan menunaikannya.
Menurut istilah : Menyampaikan sebuah hadits setelah mengembannya.

Methode dan kalimat yang digunakan dalam Tahammul dan Ada’ 8 macam :

1.SAMA’,Mendengarkan langsung hadits langsung dari syekh.

Prakteknya :

Seorang syeikh membaca hadits dan seorang murid mendengarkannya, baik dia membaca dari kitabnya atau dari hafalannya.Di Pesantren pesantren Indonesia. cara ini disebut Bandungan/Bandongan.
Jika murid itu meriwayatkan dengan cara ini, maka dia hendaknya berkata : Sami’tu ….“Aku mendengar atau dia bercerita kepadaku”, jika dia sendirian. Atau : “Dia bercerita kepada kami”, jika ada orang lain bersamanya.(bahasa yang biasa digunakan : Sami’tu,Sami’na,Haddatsanii,Haddatsanaa,Akhbaronii,Akhbaronaa,Anba-anii,Anba-anaa,Qoola lii,Qoola lanaa,Dzakaro lii,Dzakaro lanaa)

2.AL-‘ARDH (membaca di depan syeikh)
Di pesantren pesantren, Method ini diistilahkan dengan “Ngaji Sorogan”

Prakteknya :

Seorang murid atau orang lain membaca hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang syeikh,sementara syeikh mendengarkan bacaan muridnya, baik bacaan itu berasal dari hafalan atau dari sebuah kitab, baik seorang syeikh itu mengoreksi pembaca itu dari hafalannya sendiri atau dia memegang kitabnya.

Kata-kata yang digunakan ketika menyampaikannya.

Jika seorang murid akan meriwayatkan dari syeikh dengan metode ini, maka dia dapat berkata : Qoro’tu, “Aku membaca di hadapan syeikh” atau Quri’a ‘alayya“ Dibacakan di hadapannya dan aku mendengar”.atau Anba-ani

3. AL-IJAZAH (pemberian ijin)

Prakteknya :
Seorang syeikh berkata kepada salah seorang muridnya : “Aku mengijinkan kamu untuk meriwayatkan hadits-haditsku atau kitab-kitabku dariku”.

Hukum meriwayatkan hadits dengan metode ini.

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya, yaitu :
1). Tidak boleh. Ibnu Hazm berkata : “Itu adalah bid’ah, tidak boleh”.
2). Boleh. Dan ini adalah pendapat jumhur.

4.AL-MUNAWALAH (Memberikan)

Prakteknya : ada dua macam,

1).Munawalah yang diiringi dengan ijazah
a). Prakteknya, seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata : “Ini adalah yang aku dengarkan dari fulan atau ini adalah karanganku. Maka riwayatkanlah dariku”.
b). Hukum meriwayatkannya adalah boleh menurut jumhur.

2) Munawalah yang tidak diirngi dengan ijazah

Prakteknya,

Seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang aku dengarkan”.

Hukum meriwayatkannya
tidak boleh menurut jumhur ahli hadits, ahli fiqih dan ushul fiqih.

Kata-kata yang digunakan untuk menunaikannya.

1). Naawalanii Hadzal kitab “Si Fulan telah memberikan kitab kepadaku”.
2). “Dia bercerita kepadaku dengan metode munawalah” atau dia bercerita kepadaku dengan metode munawalah”.

5.AL-KITABAH (tulisan),

Prakteknya ada 2 (dua) dua macam, yaitu

1).Kitabah yang diirngi dengan ijazah

Bentuknya a, seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang kepercayaannya untuk menulis dan mengirimkannya kepada muridnya dan mengijinkannya untuk meriwayatkan darinya.

Hukum meriwayatkannya :
boleh.Imam Bukhari berkata : “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”.

2).Kitabah yang tidak diiringi dengan ijazah

Prakteknya, seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang kepercayaannya untuk menulis hadits dan mengirimkannya kepada muridnya dan dia tidak mengijinkannya untuk meriwayatkannya darinya.
Hukum meriwayatkannya ada dua :
Boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama
Tidak boleh

Kata-kata yang digunakan

Jika seorang murid akan meriwayatkan dengan metode ini, maka dia boleh berkata :
1).“Telah ditulis kepada seseorang”.
2). “Fulan bercerita kepadaku dengan cara tulisan” atau “dia memberitahu kepadaku dengan cara tulisan”.

6. AL-I’LAM (Pemberitahuan)

Prakteknya :
Seorang syeikh memberitahukan kepada seorang murid bahwa hadits-hadits ini dia dengarkan dari fulan atau kitab ini dia riwayatkan dari fulan, baik dia mengijinkan untuk meriwayatkan darinya atau tidak.

Hukum meriwayatkannya ada (dua)

1). Boleh
2). Tidak boleh, kecuali jika syeikh itu mengijinkannya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits, fiqih dan ushul fiqih.

Kata-kata yang digunakan Seorang murid berkata :
“Syeikhku memberitahukan kepadaku dengan ini … “.

7. AL-WASHIYYAH(wasiat/mewasiatkan)

Prakteknya

seorang syeikh memberikan wasiat kepada seseorang dengan sebuah kitab yang dia riwayatkan sebelum kematiannya atau sebelum kepergiannya kepada seseorang.

Hukum meriwayatkannya ada 2 (dua) :

1).Boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Ahmad Syakir. Ibnu Sholah berkata : “Ini
jauh sekali”. An Nawawi berkata : “Ini adalah kesalahan. Yang benar adalah tidak
boleh”.

2).Tidak boleh. kecuali jika murid itu mendapatkan ijin (ijazah) dari syeikh itu.

8. A-WIJADAH (menemukan)

Prakteknya

Seorang murid menemukan sebuah hadits atau sebuah kitab yang ditulis oleh seseorang yang dia tidak mendengar secara langsung darinya dan dia tidak mendapatkan ijazah darinya.

Hukum meriwayatkannya :
tidak boleh.

Kata-kata yang digunakan untuk menunaikannya

Jika seorang murid hendak meriwayatkan dari seorang syeikh dengan metode ini, maka dia boleh berkata : “Aku menemukan tulisan seseorang”.

Disarikan dari kitab Ilmu Mushtholahil hadits.A.Qodir Hassan.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum..
    Saya seorg ibu rumah tangga. Sungguh sulit mencari ilmu secara langsung krn seringkali kajian ilmiah di mesjid diadakan khusus utk ikhwan. Sedangkan kajian utk akhwat seringkali temanya hanya seputar wanita sbg istri, ibu dan membina keluarga sakinah. Padahal saya juga ingin mengetahui ilmu2 yang lain. Selama ini saya mencari ilmu dgn mendengar kajian di TV, radio, membaca di buku2 & di internet. Terkadang dlm pembicaraan ringan besama saudara atau teman, saya mengutip hadits2 tsb. Tetapi tidak sama persis krn tidak hafal kata per kata, hanya intinya saja. Dan terkadang saya tidak ingat apakah hadits ini dari riwayat Muslim atau Bukhari.

    Pertanyaan saya adalah:
    1. Jk sy mendengar kajian melalui TV, radio & youtube apakah termasuk dalam cara As-Sama'? Dan jk saya mendapat hadits2 dari buku2 & blog para ustadz termasuk cara A-Wijadah?
    2. Apakah boleh saya menyampaikan kembali 'inti' dari hadits yang saya dengar atau baca kepada orang lain TANPA mengucapkan kalimat, "Saya mendengar dari ustadz Fulan" atau "Saya menemukan hadits ini dari buku karya Ibnu Qoyyim"?

    BalasHapus